Diriku Apa Adanya

Foto saya
Indonesia
Only new-born human to develop potencies optimum 100% and to give multi-purposes internationally

Kamis, Mei 08, 2008

Bank Sentral dalam Perspektif Ekonomi Islam

Oleh :
Ade Chandra
Mahasiswa Master of Management di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Kinerja perbankan secara nasional di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh kinerja perbankan konvensional maupun perbankan syariah. Ujungnya, performance perbankan nasional tersebut sangat ditentukan oleh bank sentral. Dalam hal ini Bank Indonesia (BI).

Hingga saat ini, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada pada perbankan nasional berdasarkan data dari BI hingga akhir Februari 2008, terkumpul sebesar sekitar Rp. 1.471,20 triliun dari 30 propinsi yang ada di Indonesia. Penyaluran dana berupa kredit hanya sebesar Rp. 1.031,10 triliun, sedangkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp.231,40 triliun dengan bunga SBI jangka waktu 1 bulan 7,93% dan jangka waktu 3 bulan sebesar 8,01%. Sedangkan untuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) untuk perbankan syariah bonusnya sebesar 7,37.

Dana perbankan nasional yang disimpan di SBI dan SWBI mengakibatkan beban pemerintah melalui BI makin bertambah karena biaya bunga dan bonus yang harus dibayarkan. Belum lagi keinginan pemerintah agar bunga SBI dan bonus SWBI yang dibayarkan BI bisa lebih tinggi sehingga menguntungkan bagi pemerintah.

Tentu ini sangat membuat “pusing” BI untuk menginvestasikan dana SBI dan SWBI dengan return tinggi serta dalam jangka waktu yang pendek pula. Walaupun return tinggi juga merupakan upaya untuk “menyenangkan” para deposan agar terus memarkirkan dananya di SBI dan SWBI.

Akan tetapi, menurut Habib Ahmad dalam research paper di Islamic Development Bank (IDB) tahun 2001, bank sentral dalam perspektif ekonomi Islam tidak dibolehkan menggunakan bunga dalam seluruh transaksi yang dilakukannya. Bank sentral hanya boleh memegang aset keuangan yang di back-up oleh transaski riil dan aset nyata. Hal ini meliputi equity-based government securities, sertifikat deferred price (istisna), aset obligasi (sukuk) ijarah dan sukuk muqaradah.

Dalam konteks suplai uang pun, bank sentral dalam perspektif ekonomi Islam mesti di back-up oleh riil aset atau claims riil asset. Juga, suplai uang hanya dapat ditingkatkan ketika aktivitas riil juga meningkat. Selain itu, bank sentral tidak boleh membiayai defisit budget pemerintah kecuali uang tersebut digunakan untuk aktifitas riil yang produktif.

Implikasi penerapan kebijakan ini, akan mempengaruhi kestabilan pertukaran mata uang negara dipasar uang. Hal ini juga akan menurunkan aktivitas spekulasi para spekulan. Karena bila bank sentral hanya membiayai investasi produktif pemerintah, maka tidak akan ada insentif untuk mata uang yang ditargetkan.

Pemerintah yang memiliki peran signifikan membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan dalam perspektif ekonomi, sedikit banyaknya berdampak pada peran bank sentral. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut seperti kebijakan perdagangan (trade policy) dalam hal ini ekspor dan impor, kebijakan fiskal (fiskal policy) dalam memanage pengeluaran-pengeluaran, serta kebijakan keuangan (money policy) yang meliputi suplai uang dan kredit sektor privat.

Dalam money policy, bank sentral melaksanakannya untuk mencapai tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang jika suplai uang dan pertumbuhan permintaan uang berjalan secara proporsional maka nilai tukar uang akan stabil. Sedangkan untuk jangka pendek, variasi permintaan uang meningkat dari fluktuasi pertumbuhan keseimbangan pembayaran dalam operasi pasar terbuka berkaitan erat dengan mata uang asing. Bank sentral dapat membeli atau menjual mata uang asing untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang negara bersangkutan.

Pada fiscal policy, keterbatasan bank sentral dalam perspektif ekonomi Islam dalam memulihkan defisit keuangan pemerintah mengharuskan pemerintah mesti menyeimbangkan antara pengeluaran operasional negara dengan pendapatan negara. Jangan sampai besar pasak dari pada tiang.

Kalau ditelusuri keadaan Indonesia dari data BI hingga akhir Februari 2008, posisi portfolio obligasi (sukuk) pemerintah sebesar Rp.478,779 triliun. Walaupun hingga akhir 25 Juli 2020 obligasi pemerintah akan jatuh tempo, namun suku bunganya dari tahun 2002 hingga tahun 2020 tetap tinggi berkisar antara 8-16,5% dibanding SBI dan SWBI saat ini. Sedangkan ditingkat dunia suku bunga obligasi maksimum 3%. Bayangkan berapa bunga yang harus pemerintah bayar berikut pembayaran pokoknya. Tentu yang jadi korban adalah rakyat. Sehingga akhirnya pemerintah harus memangkas berbagai dana subsidi yang seharusnya dinikmati rakyat ditengah harga-harga yang merangkak naik, sedangkan pendapatan mereka tetap dan bahkan cenderung menurun.

Dalam perspektif ekonomi Islam, pemerintah hanya dapat mencari pembiayaan dari bank sentral dalam hal pengeluaran untuk modal saja. Sedangkan untuk konsumtif sangat dihindari. Kedisiplinan pemerintah untuk mengikuti aturan ini, akan berimbas juga pada kestabilan nilai tukar mata uang negara. Walaupun dana yang didapatkan pemerintah dari bank sentral untuk pengeluaran modal akan meningkatkan suplai uang, namun disisi permintaan uang tetap proporsional. Kebijakan ini secara internal akan menurunkan inflasi dan secara eksternal akan menstabilkan nilai mata uang. Saat ini, dari catatan BI inflasi di Indonesia, pada akhir maret 2008 sebesar 8,17% lebih tinggi dibandingkan Februari yang hanya sebesar Rp.7,40%.

Belajar dari pengalaman

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masa krisis moneter tahun 1998 merupakan pelajaran pahit dalam sejarah bank sentral di Indonesia. Menurut catatan Ishak Rafick (2008), BI mengeluarkan BLBI sebesar Rp.144 triliun hampir tanpa reserve. Pada saat itu, atas desakan International Monetary Fund (IMF) pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar Rp. 430 triliun. Bila ditambah dengan bunganya maka menjadi Rp.600 triliun. Anehnya lagi, setelah bank-bank bermasalah tersebut sehat, atas dorongan IMF bank-bank rekap tersebut mesti dijual dengan obligasinya sehingga jatuhlah ketangan asing dan konsorsium. Pemerintah masuk pada jebakan hutang (debt trap). Tanpa disadari pemerintah merubah hutang swasta menjadi hutang publik sebesar Rp.600 triliun dengan bunga sebesar 12,5%, lebih besar dari BI rate saat ini. Sungguh, perlu kecerdasan putra-putri terbaik bangsa untuk menyelesaikan kasus ini.

Selain itu, defisit budget pemerintah biasanya berkaitan dengan defisit perdagangan. Ekspor utamanya ditentukan oleh permintaan internasional terhadap suatu barang dengan harga-harga yang relatif. Sedangkan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok, kenyamanan dan barang-barang mewah.

Dalam perspektif ekonomi Islam, impor yang dilakukan pemerintah mesti mengutamakan barang-barang modal. Karena barang-barang modal sangat penting dalam meningkatkan kapasitas produksi yang secara jangka panjang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Disini lah perlu kejelian bank sentral dalam membiayai barang-barang impor yang dilakukan pemerintah. Jangan sampai hanya membiayai barang-barang konsumtif belaka.
Jadi, baik secara langsung maupun tidak langsung bank sentral dalam perspektif ekonomi Islam bisa menjadi pengawas dalam kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga, bank sentral menjadi jalan untuk membantu negara menjadi lebih baik.

Disinilah, kualitas human resource bank sentral menjadi tulang punggung menentukan masa depan bangsa. Sebuah harapan besar dari rakyat untuk memutus lingkaran setan “keterpurukan” finansial yang tak berujung yang terjadi dinegara ini.

SOLUSI MINYAK DUNIA DAN DOLLAR

Oleh: Ade Chandra
Mahasiswa Master of Management di International Islamic University Malaysia

Kenaikan minyak dunia menjadi salah satu faktor terbesar dalam momentum sebuah perubahan. Kenaikannya memberikan multiplier effects bagi aspek lain yang juga “dipaksa” harus ikut berubah. Ini menandakan bahwa ketergantungan pada minyak bumi dan turunannya sangat mendominasi dalam kehidupan masyarakat dunia.

Minyak bumi bagaikan lokomotif kereta api yang menarik gerbong yang demikian panjang. Sedikit saja lokomotif bermasalah, maka gerbong sebagus apapun akan tetap terpengaruh jalannya bahkan bisa jadi tidak akan bergerak.

Dalam Harvard Business Review (2004) diadaptasi dari Professor Anita McGahan dari Boston University memberikan empat analisis perubahan dengan mengidentifikasi aktivitas inti dan aset inti, dalam hal ini tentunya yang dimiliki suatu bangsa. Analisis-analisis perubahan tergantung dari sisi mana akan dilihat, sebagaimana penjelasan berikut: 1) intermediating change, dilakukan saat asset inti tidak terancam tetapi aktivitas inti sedang terancam. 2)radical change, pada saat kondisi aset dan aktivitas inti terancam. 3)creative change, kondisi dimana aset inti terancam dan aktivitas inti terancam, dan 4)progressive change, untuk aset dan aktivitas inti tidak terancam.

Untuk kondisi Indonesia, progressive change menjadi pilihan karena aset dan aktivitas utama bangsa ini belum terancam dalam jangka panjang akibat kenaikan minyak bumi dan turunannya.

Dalam menerapkan progressive change di Indonesia perlu tiga pendekatan untuk menjalankannya seperti: 1)geographic, 2)technical atau 3)expertise.
Secara geografis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang menyediakan bahan baku untuk menjadi subsitusi bahkan pengganti minyak bumi. Sebut saja ada gas alam dan batu bara. Selain itu sekarang juga digalakkan untuk memakai biofuel yang merupakan energi yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti pengolahan buah tanaman jarak dan buah kelapa sawit untuk menjadi salah satu sumber energi alternatif.
Perubahan ini selanjutnya akan memerlukan kemampuan teknis yang memerlukan proses, pembelajaran dan keahlian yang bersifat teknikal. Bisa jadi akan mengganti mesin-mesin yang memakai minyak bumi, yang tentunya memerlukan cost yang besar.
Belum lagi mesti ada pengalaman untuk melakukan proses perubahan tersebut disamping ilmu dan keahlian khusus. Disisi lain, pemakaian gas alam dan batu bara serta biofuel tentunya akan memberikan dampak juga pada lingkungan alam.

Maka dari itu, Peter F. Drucker yang dianggap sebagai bapak manajemen dunia menyampaikan bahwa perlu adanya innovation yang dapat diartikan suatu hal, ide atau cara yang baru dalam melakukan sesuatu. Selain itu juga harus creative dengan menemukan dan mengembangkan ide-ide, hal atau cara yang baru agar mampu dilaksanakan secara efektif dan efisien.

DaIam kondisi seperti ini, Indonesia termasuk negara yang beruntung karena masih memiliki orang-orang yang inovatif dan kreatif. Salah satunya adalah Joko Suprapto, warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur sebagai penemu blue energy. Beliau telah melakukan penelitian sejak tahun 2001 dengan mengambil ide dari Al Qur’an untuk memecah molekul air menjadi H plus dan O2 min. Dengan pemberian katalis dan beberapa proses-proses tertentu, maka didapatkan bahan bakar dengan rangkaian karbon tertentu.

Uniknya lagi, bahan dasar air yang diproses adalah air laut. Dengan beberapa proses untuk mengatur rangkaian karbon air laut tersebut, blue energy ini akan dapat digunakan oleh mesin dengan bahan bakar minyak bumi seperti premium, solar, premix hingga avtur. Penggunaannya juga tanpa mengganti mesin-mesin tersebut, sungguh fantastis! walaupun pemasaran produknya secara massal belum dilakukan.

Disamping itu, alternatif lain adalah energi dari sinar matahari, angin, panas bumi dan energi dari berbagai sumber lainnya. Ini merupakan tantangan dan harapan untuk dikembangkan. Makanya wajar jika kedepan pemerintah mesti berupaya untuk memfasilitasi penelitian-penelitian berbasis teknologi dengan harapan dapat menghasilkan karya-karya terbaik anak bangsa yang bermanfaat bagi umat manusia. Budget pendidikan 20% sepertinya mesti ditingkatkan lagi untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang lebih berkualitas.

Bila ditelusuri, saat ini Indonesia baru memiliki 49,430 patent yang diregistrasikan sejak tahun 1991 hingga tahun 2005 seperti yang dilansir di dinarstandard.com. Sedangkan untuk paten Indonesia di Amerika Serikat, maka sejak tahun 1971 hingga tahun 2004 baru tercatat 162. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai paten sebanyak 547 serta Jepang yang sudah mencatatkan patentnya sebanyak 574.865. Ini menggambarkan bahwa Indonesia masih jauh ketinggalan dalam hal pengembangan penelitian. Perlu upaya serius berbagai pihak terutama pemerintah untuk mengembangkan jalinan kerjasama penelitian dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya seperti apa yang dilakukan negara Malaysia dan Jepang. Selain itu, perguruan tinggi mesti sungguh-sungguh mewujudkan pengembangan penelitian sebagai bagian dari tridharma perguruan tinggi.

Harapannya, pengembangan penelitian berbasis kompetensi, proses dan hasil yang kreatif dan inovatif, maka jangka panjangnya akan dapat menghasilkan banyak solusi terhadap krisis minyak dunia dan energi. Bukan hanya untuk Indonesia, bahkan untuk dunia.

Disamping minyak dunia, dominasi ternyata juga berlaku bagi mata uang dollar. Ia menjadi alat tukar utama dalam transaksi keuangan dan perdagangan dunia internasional. Kenaikan nilainya dibandingkan mata uang lokal, akan memunculkan “bencana” bagi ekonomi suatu bangsa. Karena ia bukan saja sebagai alat tukar, tapi sudah merupakan komoditas utama di currency market.

Kenyataannya kini, Amerika Serikat sipemilik dollar sedang diambang keambrukan ekonomi akibat krisis kredit perumahan sejak tahun 2007 lalu. Ditambah beban besar membiayai perang di Irak dan Afghanistan. Belum lagi ulah para “teroris” spekulan di currency market melakukan terobosan-terobosan keuangan sehingga dollar pun merangkak naik disaat harga minyak dunia yang juga semakin membumbung tinggi. Padahal berdasarkan hukum pasar, supply and demand terhadap minyak sebenarnya relatif stabil.
Bisa dibayangkan dampak kehancuran ekonomi sebagai akibatnya. Tentu akan menghancurkan sektor-sektor keuangan, perbankan, asuransi dan sektor-sektor lainnya dan pada akhirnya akan merambah ke sektor-sektor ril ekonomi masyarakat.
Beberapa solusi terkait dengan dollar diantaranya: 1)tight money policy, dan 2)alternative currency.

Pembuat tight money policy atau kebijakan uang ketat akan efektif dilakukan oleh pemerintah dengan penentuan fix rate pada dollar dibanding mata uang lokal, sebagaimana keberhasilan ini dilakukan oleh Malaysia saat krisi ekonomi tahun 1997. Selain itu, penggunaan alternative currency yang merupakan alternatif pengganti mata uang dollar tidak bisa dilakukan secara terbatas saja. Sudah saatnya penggunaan dinar atau mata uang emas dijadikan pembayaran utama perdagangan dunia. Minimal dilakukan dalam perdagangan bilateral.

Saat ini pun, International Monetary Fund (IMF) terpaksa menjual emas. Salah satunya sebagai akibat beban krisis yang teramat berat melanda Amerika saat ini.
Disinilah perlu upaya serius penuh komitmen dalam mengatasi kenaikan minyak bumi dan dollar secara cepat dan tepat. Sehingga dalam jangka panjang negara Indonesia akan memiliki stabilitas ekonomi dan mandiri dalam mengatasi permasalahannya sendiri. Perlu kerjasama dengan ide-ide besar untuk mewujudkannya.