Diriku Apa Adanya
- Ade Chandra
- Indonesia
- Only new-born human to develop potencies optimum 100% and to give multi-purposes internationally
Sabtu, Desember 27, 2014
Fatwa DSN No.02 Tentang Tabungan
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 02/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang :
a. bahwa keperluan masyarakat
dalam peningkatan kesejahteraan
dan dalam penyimpanan kekayaan,
pada masa kini, memerlukan
jasa perbankan; dan salah satu
produk perbankan di bidang
penghimpunan dana dari masyarakat
adalah tabungan, yaitu
simpanan dana yang penarikannya
hanya dapat dilakukan
menurut syarat-syarat tertentu
yang telah disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet
giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
b. bahwa kegiatan tabungan tidak
semuanya dapat dibenarkan oleh
hukum Islam (syari’ah);
c. bahwa oleh karena itu, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa
tentang bentuk-bentuk mu’amalah
syar’iyah untuk dijadikan
pedoman dalam pelaksanaan
tabungan pada bank syari’ah.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]:
29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian
saling memakan
(mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah
[2]: 283:
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain,
hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya dan
hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad
itu …”.
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 2:
“dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan)
kebajikan….”
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Abbas:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan
harta sebagai
mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib-nya
agar tidak
mengarungi
lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak
membeli hewan
ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib)
harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan
Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya” (HR. Thabrani
dari Ibnu Abbas).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung
berkah: jual
beli tidak
secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan
mencampur gandum
dengan jewawut untuk keperluan rumah
tangga, bukan
untuk dijual.’” (HR.
Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum
muslimin kecuali
perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan
kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan
yang haram” (HR.
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah
sahabat menyerahkan (kepada
orang, mudharib) harta
anak yatim sebagai mudharabah dan tak
ada seorang pun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’ (Wahbah
Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, 1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah
diqiyaskan kepada transaksi
musaqah.
10. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan
kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
11. Para ulama menyatakan, dalam
kenyataan banyak orang yang
mempunyai harta namun tidak
mempunyai kepandaian dalam
usaha memproduktifkannya;
sementara itu, tidak sedikit pula
orang yang tidak memiliki harta
namun ia mempunyai
kemampuan dalam
memproduktifkannya. Oleh karena itu,
diperlukan adanya kerjasama di
antara kedua pihak tersebut.
Memperhatikan :
Pendapat peserta Rapat Pleno
Dewan Syari'ah Nasional pada hari
Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420
H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG
TABUNGAN
Pertama : Tabungan ada
dua jenis:
1. Tabungan yang tidak dibenarkan
secara syari’ah, yaitu tabungan
yang berdasarkan perhitungan
bunga.
2. Tabungan yang dibenarkan,
yaitu tabungan yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua : Ketentuan Umum
Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah
bertindak sebagai shahibul mal atau
pemilik dana, dan bank bertindak
sebagai mudharib atau
pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai
mudharib, bank dapat melakukan
berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip
syari’ah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan
jumlahnya, dalam bentuk tunai
dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus
dinyatakan dalam bentuk nisbah
dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup
biaya operasional tabungan
dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan
mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Ketiga : Ketentuan Umum
Tabungan berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat simpanan.
2. Simpanan bisa diambil kapan
saja (on call) atau berdasar-kan
kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H.
1 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH
NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs. H.A. Nazri Adlani
SUKSES BISNIS TANPA RIBA
Mukaddimah
Sukses
merupakan hak setiap kita. Dan sukses bisnis merupakan harapan besar agar
memberi kebaikan dan manfaat pada umat manusia, agama, negara, masyarakat,
lingkungan, keluarga dan diri sendiri. Namun, Sukses Bisnis Tanpa Riba
merupakan pilihan imani dengan menharap ridho Ilahi. Bukan hanya sukses untuk
hidup didunia saja bahkan sukses untuk kehidupan akhirat dan terbebas dari
siksa api Neraka. Walau untuk merealisasikannya tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Apalagi menjelang akhir zaman, hampir disetiap lini kehidupan
tidak ada yang bisa terlepas dari cengkeraman riba. Mulai dari seorang manusia
hingga sebuah negara tidak bisa bebas dari riba. Minimal terkena debu riba. Sebagaimana
telah disampaikan Rasulullah Muhammad SAW sejak empat belas abad yang lalu.
Dari Abu Hurairah, ra. Rasulullah
bersabda:
“Sungguh akan datang pada
manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan
memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia
tetap akan terkena debu (riba) nya,”
(HR Ibnu Majah, hadits
No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331).
Nah, pembahasan “Sukses Bisnis Tanpa Riba”
merupakan salah satu bentuk niat, usaha dan keinginan serius setiap kita
sebagai seorang Muslim yang berusaha agar terhindar dari riba. Tentu dengan menggali
khasanah ilmu tentang riba, bertukar pikiran dan berbagi pengalaman dengan
harapan dapat menghindarkan diri dari riba. Termasuk juga agar terbebas dari debu
riba.
Memahami Makna Sukses
Setiap manusia ingin sukses. Baik
sukses jangka pendek maupun sukses jangka panjang. Sukses jangka pendek berdasarkan
Al Qur’an dalah sukses kehidupan didunia ini. Sedangkan sukses jangka panjang
adalah sukses untuk kehidupan akhirat. Setiap hari kita bermohon kepada Allah
SWT agar kita sukses hidup didunia dan diakhirat kelak. Sebagaimana do’a yang
sering kita baca yang terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah 2:201
Dan diantara mereka ada yang
berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,
dan lindungilah kami dari azab neraka.”
- Sukses
Jangka Panjang (Long Term Success)
Makna sukses Akhirat
sebagaimana Firman Allah SWT:
...“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Surga,
sungguh, dia memperoleh kemenangan”... (QS. Ali Imran 3:185)
Sukses
akhirat sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an dan Hadits dapat dikelompokkan
menjadi 4 bagian:
1. Bertemu
dengan Allah SWT
2.
Mendapat ampunan dari segala kesalahan
3.
Terbebas dari api neraka
4.
Tinggal di Surga dengan segala kenikmatannya
Tentunya 4
bagian diatas dapat diperoleh hanya dengan keridhoan Allah SWT. Namun, sarana terbesar untuk memahami sukses jangka
panjang adalah dengan mempraktikkan 6 rukun Iman (Iman pada Allah, Malaikat,
Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Kiamat dan Qadar-Nya). Hal ini untuk
membiasakan diri kita agar selalu berpikir dari tujuan akhir aktivitas kita.
Dan niat adalah apa yang akan dituju.
Rasulullah SAW
bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung kepada
niatnya.”
Dalam firman-Nya Allah SWT menyampaikan:
“Sesungguhnya,
yang akhir itu lebih baik dan lebih abadi, dan yang akhir itu lebih baik dari
yang awal” (QS. Al’Alaa, 87:17)
- Sukses Jangka Pendek (Short Term Success)
Makna
sukses Dunia sebagaimana Firman Allah SWT:
“Dan adalagi yang lain yang kamu sukai, yaitu pertolongan Allah SWT dan
kemenangan yang dekat.” (QS. Ash-Shaff, 61:13).
Kesuksesan
apapun untuk kehidupan dunia, maka mintalah pada Allah SWT.
..“Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa
kepada-Ku”.. (QS. Al Baqarah 2:186)
Dari
berbagai literatur, maka kesuksesan manusia di dunia dikelompokkan menjadi 14
bagian (BS.Wibowo dkk, 2003):
1. Peningkatan
pekerjaan dan karier (Amal)
2. Kesehatan
(Qawiyul Jism) dan kenikmatan hidup.
3. Peningkatan
keuangan dan rasa aman (Qadirun ‘Ala Kasb)
4. Keteguhan
hati dan kepercayaan diri (Matinul Khuluq)
5. Kepribadian
dan pergaulan dengan orang lain (Ukhuwah)
6. Kebahagiaan
dan kedamaian akal budi
7. Pengembangan
diri dan pendidikan diri (Mutsaqaful fikr)
8. Sasaran
dan arah hidup serta keteraturan program diri (Munazham fi syu’nihi)
9. Disiplin
diri dan penguasaan diri (Mujahidun
linafsi)
10. Cinta
dan kehidupan keluarga
11. Kaidah
emas dan tanggung jawab (Haritsun ‘Ala
Waqtihi)
12. Kawan
dan persahabatan
13. Matang
secara Altrustik (bermanfaat bagi orang lain-nafiun liqhairi) dan menjadi tua secara mulus.
14. Kemampuan
mengaitkan hidup dengan kematian (ketenangan batin & kebenaran jiwa)
- Sukses Dunia-Akhirat
Siapa yang
ingin sukses di Akhirat maka dia harus menyiapkan diri selama di dunia. Juga
bila ingin sukses di alam kubur dan
Padang Mahsyar maka harus beramal dengan baik di dunia.
Dari
Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ada 7 golongan yang dilindungi
oleh Allah SWT di bawah lindungan-Nya, waktu tidak ada lindungan selain
lindungan-Nya:
1. Pemimpin
yang adil
2. Pemuda
yang dalam masa mudanya taat berbadah kepada Allah SWT
3. Orang
yang menyebut Allah ketika sendirian lalu meneteskan airmata.
4. Laki-laki
yang hatinya terikat dan tergantung dengan masjid
5. Orang
yang berkasih sayang karena Allah semata
6. Laki-laki
yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan tinggi dan cantik untuk berzina,
tetapi ia menolak dengan mengatakan “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”
7. Orang
yang bersedekah dan disembunyikan, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa
yang diberikan oleh tangan kanannya.
Tujuh kelompok
diatas kita jadikan model dalam manajemen sukses pribadi. Nah, untuk sukses dikehidupan
kita di Padang Mahsyar maka kita perlu memiliki hal-hal berikut:
1. Keterampilan Kepemimpinan (Leadership
Skill)
Merupakan
keterampilan dalam memimpin. Kita harus mampu mengelola rumah tangga, pekerjaan
kita masing-masing dan pemimpin bagi orang-orang yang kita pimpin. Tentu kita
harus menjadi pemimpin yang adil.
2. Pemuda Shalih: Generasi dan Regenerasi
Pemuda
yang masa mudanya beribadah kepada Allah adalah ciri pemuda shalih. Kita berusaha
menjadi orang shalih sekaligus juga memiliki kemampuan mencetak anak cucu kita
menjadi para pemuda yang shalih. Dengan arti kata kita harus memiliki kemampuan
untuk regenerasi.
3.
Kekuatan
Spiritual
Kekuatan
spriritual dapat diperoleh dengan kita memulai mengenali diri kita beserta
dosa-dosa kita, mengakui kelemahan dan kesalahan yang telah kita lakukan. Bersegera mohon ampun kepada Allah serta
berusaha untuk melakukan aktivitas dan kegiatan yang mengandung banyak manfaat
dan kebaikan. Tentu ini juga merupakan persiapan agar ketika ajal menjemput,
kita telah siap karena tiapa hari tanpa melakukan amal shalih dan kebaikan
serta kebermanfaatan yang kita lakukan. Sedangkan puncak tertinggi kekuatan
spiritual adalah Ihsan.
Ihsan
yaitu engkau menyembah (percaya dan mengabdikan diri) kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sungguh Dia melihatmu
(HR. Muslim No.2)
4.
Membangun
Institusi Dakwah: Profesional
Masjid
merupakan pusat perubahan. Sehingga agar berfungsi dengan baik maka harus
dikelola oleh orang-orang yang profesional dan istiqomah pada lembaga tersebut.
Begitu juga institusi dakwah lainnya memerlukan orang-orang yang profesional dan
istiqomah dalam mengelola.
5.
Teamwork:
Ta’liful Qulub
Masa
depan kehidupan manusia semakin sulit sehingga banyak pekerjaan yang harus
dikerjakan dengan kekuatan kerja tim. Orang yang berkasih sayang merupakan ciri
orang yang mampu melakukan amal jama’i atau bekerja dengan teamwork.
6.
Kredibilitas
Moral
Tantangan
sukses untuk membangun kredibilitas moral adalah godaan dunia yaitu tahta,
harta dan wanita. Pernyataan yang lebih mendalam tentang godaan dunia sebagaimana
disebutkan dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 14:
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia
cinta pada apa yang diinginkan berupa:
(1)Perempuan-perempuan, (2)Anak-anak, (3)Harta
benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, (4)Kuda pilihan (kendaraan),
(5)Hewan ternak (unta, sapi, kambing, biri-biri, (6) Sawah ladang (kebun)
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan
disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
7.
Kekuatan
Ekonomi
Orang
yang bersedekah jika mereka memiliki harta dan ikhlas dalam beramal. Dari 4
Khalifah Sahabat Rasulullah yang dijamin masuk Syurga, ternyata 3 orang
memiliki harta yang cukup (Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan)
kecuali Ali Bin Abi Thalib. Dan 10 orang Sahabat Rasulullah yang dijamin masuk
Surga memiliki harta yang cukup, kecuali Ali bin Abi Thalib dan Bilal bin
Rabbah.
Bila
ingin sukses di Akhirat maka di dunia jadilah kita orang yang selalu bersedekah
untuk orang lain. Adapun orang yang bersedekah dengan menyembunyikan sedekahnya
maka ia sudah masuk level muttaqin
(memenuhi seluruh tuntutan Allah SWT).
Memahami Makna Bisnis
Menurut
kamus Collins Cobuild Dictionary,
bisnis adalah aktivitas yang berhubungan dengan produksi, pembelian dan
penjualan suatu produk atau jasa.
Konsep
produksi dan kerja dalam Islam menghindarkan kemubaziran dengan prinsip-prinsip
berikut:
1. Memproduksi dengan meraih profit tinggi
2. Memproduksi dengan kegunaan yang bermutu
tinggi
3. Memproduksi dengan nol masalah
4. Memproduksi dengan biaya rendah
5. Memproduksi dengan tingkat penundaaan
rendah
Pembelian
dan penjualan produk atau jasa maka hendaknya seorang muslim memperhatikan:
- Kehalalan produk atau
jasa sudah teruji (idealnya
telah memiliki Sertifikasi Halal Resmi & terdaftar pada Majelis Ulama)
- Diproduksi dan dimiliki
kaum Muslimin
Agar setiap keuntungan yang didapat juga
berputar untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Misalnya berupa zakat, infak
sedekah, wakaf dan hadiah. Termasuk juga membantu kegiatan-kegiatan sosial.
- Fardhu ‘Ain (wajib), bila produk atau jasa sangat diperlukan
kaum muslimin dimana disuatu wilayah kaum Muslimin belum ada dihasilkan.
Misalnya makanan halal dari binatang ternak.
- Fardhu Kifayah, bila produk atau jasa sangat
dibutuhkan kaum Muslimin tapi tidak ada yang mengolahnya maka kaum
muslimin didaerah itu semuanya berdosa. Misalnya jilbab syar’i.
- Sosial, bila produk atau jasa diperlukan kaum
Muslimin tanpa mendapat keuntungan materi seperti Lembaga Amil Zakat,
Sekolah Islam, Sekolah Tahfiz dan sebagainya.
Allah
SWT menyampaikan versi bisnis dalam Al Qur’an Surat As-Saff 61: 10-12 yaitu:
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu aku tunjukkan suatu
perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?”
“ (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad dijalan
Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik jika kamu mengetahui.”
“Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam
Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan ke tempat-tempat tinggal yang
baik di dalam Surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.”
Pengertian Riba
Secara
bahasa riba bermakna : Ziyadah / tambahan atau kelebihan. Secara linguistik, riba berarti tumbuh dam
membesar. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil.
Secara
umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam.
Riba
adalah kebiasaan yang telah membudaya di kalangan
masyarakat Arab jauh sebelum larangan riba
berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di
kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam
Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini
menuju kepada keadaan masyarakat saat itu
yang memang telah terbiasa melakukan transaksi dengan
dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Larangan Riba Dalam Al-Qur’an
Keharamannya riba telah disepakati oleh setiap
Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, Al Hadits serta ijma' seluruh ulama
Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya
berhak atas pokok hartanya saja.
Dalam
Al-Quran kata riba terulang sebanyak 8 kali. Terdapat dalam 4 surat, yaitu
Al-Baqarah (4 ayat), Ali 'Imran (1 ayat), An-Nisa' (2 ayat), dan Ar-Rum (1 ayat).
3 surat pertama "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah),
sedang Ar-Rum "Makiyyah" (turun di Mekah sebelum beliau hijrah).
Tahap-tahap pembicaraan
Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman
keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di
dalamnya (Ar-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya
(Al-Nisa’: 160-161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit,
dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali ‘Imran: 130), dan pada tahap
terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah:
275-276).
Larangan riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus tetapi diturunkan dalam 4 tahap, yaitu:
- Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang nampak seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Itu di dalam surat Ar-Rum ayat 39.
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Ayat
ini Makkiyah yang menjelaskan bahwa Allah membenci riba
dan perbuatan riba tidak mendapat pahala di sisi Allah
SWT. Ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan riba.
- Tahap kedua, digambarkan riba sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Itu di dalam surat An-Nisa’ ayat 160-161.
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا 161
“Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ayat
ini Madaniyah yang merupakan kisah tentang orang-orang
Yahudi. Allah SWT mengharamkan kepada
mereka riba akan tetapi
mereka tetap mengerjakan perbuatan ini.
Pengharaman riba pada ayat ini adalah
pengharaman secara tersirat tidak dalam
bentuk tegas, akan tetapi berupa kisah
pelajaran dari orang-orang Yahudi yang telah
diperintahkan untuk meninggalkan riba tetapi mereka tetap melakukannya. Bahkan
sebagian nabi-nabi mereka telah melarang
melakukan perbuatan riba.
- Tahap ketiga, riba di haramkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”
Ayat
ini Madaniyah yang menjelaskan kebiasaan orang Arab
saat itu yang sering mengambil riba dengan
berlipat ganda. Ayat ini telah jelas mengharamkan
perbuatan riba. Tetapi pengharamannya masih bersifat sebagian, yaitu kepada
kebiasaan orang saat itu yang mengambil riba dengan
berlipat ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang
berlipat ganda
- Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Dalam surat Al Baqarah ayat 275-276.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba.
Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia
berhenti maka baginya adalah apa yang telah
berlalu dan urusannya adalah kepada Allah dan barang siapa
yang kembali lagi, maka mereka adalah penghuni neraka yang
kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan
Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.
(QS.
Al-Baqarah : 275- 276)
Ayat
ini Madaniyah dimana dalam Ayat ini Allah menegaskan untuk mengharamkan riba.
Sebagai
penegasan untuk meninggalkan riba, juga ada 2 ayat lain dalam Surat Al-Baqarah ayat
278-279 yang menjelaskannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa-sisa riba. jika memang kamu
orang yang beriman. Jika kamu tidak
melakukannya, maka terimalah
pernyataan perang dari Allah dan
rasul Nya dan jika kalian bertobat
maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan
tidak pula dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)
Hadits-Hadits Terkait Riba
Berikut ini beberapa hadits Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang riba, yaitu:
- Dalam amanatnya tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW menekankan pelarangan riba:
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhanmu
dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba.
Oleh karena itu, modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan
menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
- Diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
(1) Menyekutukan Allah,
(2) sihir,
(3) membunuh jiwa dengan cara yang haram,
(4) memakan riba,
(5) memakan harta anak yatim,
(6) kabur dari medan perang,
(7) menuduh berzina wanita suci yang sudah
menikah karena kelengahan mereka. “
3. “Menjelang
datangnya hari kiamat akan merajalela riba,”
(HR:
Thabrani dalam At-Targhib Wat-tarhib karya Al-Mundziri 3:9, dan beliau berkata,
“Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
anhu).
- “Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan
(dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi
(menzinai) ibu kandungnya sendiri,”
(HR
Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud)
- Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
(HR.Bukhari dalam Fathul Bari/V:4/H:394/bab:24)
- Diriwayatkan oleh Bukhari dari Samurah bin
Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah SAW bersabda:
“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki,
lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun
berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah.
Di situ terdapat seorang lelaki sedang
berdiri.
Di tengah sungai terdapat seorang lelaki
lain yang menaruh batu di hadapannya.
Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di
sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu
sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai (dalam kedaan) berdarah.
Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di
pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi
seperti semula.
Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang
lelaki yang bersamaku menjawab:
“Yang engkau lihat dalam sungai darah itu
adalah pemakan riba.”
(HR. Bukhari dalam
Fathul Bari/V:4/H:393/2085).
Pembagian
Riba
Riba dapat terjadi dalam 2 hal yaitu dalam utang (dain) dan dalam
transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba
utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’).
Riba Dalam Utang (Riba Duyun)
Yaitu adanya manfaat tambahan terhadap utang atau pinjaman. Riba ini bisa terjadi
dalam transaksi utang-piutang atau pun dalam transaksi tidak tunai semisal
transaksi jual-beli kredit. Perbedaan antara utang yang muncul karena utang
piutang dengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang piutang,
yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain.
Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada
saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang,
misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp.20 juta kepada si B dengan
tempo 1 tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib
mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan
riba yang diharamkan.
Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak
menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat
waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan
utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau
denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua ini khusus disebut riba
jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski
asalnya transaksi utang-piutang.
Riba utang yang muncul dalam selain utang-piutang atau pinjaman
contohnya apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan
ketentuan harus lunas dalam 3 tahun. Jika dalam 3 tahun tidak berhasil dilunasi
maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan
sebesar 5%, misalnya.
Dalam hal pinjaman, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa
melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada
segala macam barang. Jika si A meminjam 2 liter bensin kepada si B, kemudian disyaratkan
adanya penambahan 1 liter dalam pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah
riba. Demikian pula jika si A meminjam 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan
adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan,
“kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari
Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam pinjam meminjam
adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam
harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah
dan jasa tersebut tergolong riba.
Sebagai contoh bila si B bersedia memberi pinjaman uang pada si A dengan syarat
si A harus meminjamkan kendaraannya pada si B selama 1 bulan, maka manfaat yang
dinikmati si B itu merupakan riba.
Riba Dalam Jual-beli (Riba Buyu’)
Dalam jual-beli terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan
riba nasi’ah. Keduanya mudah diketahui lewat contoh-contoh yang nanti akan kita bahas.
Berbeda dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam
segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi
6 barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda: “Jika
(1)
emas ditukar dengan emas,
(2)
perak ditukar dengan perak,
(3)
bur (gandum) ditukar dengan bur,
(4)
sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir,
(5)
kurma ditukar dengan kurma, dan
(6)
garam ditukar dengan garam,
maka jumlah
(takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai).
Barangsiapa
menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang
mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam
dosa.” (HR. Muslim
no. 1584)
Dalam riwayat lain dikatakan:
Emas ditukar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan
semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan
(kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari
tangan ke tangan (kontan).”
(HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah
saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan 6 komoditi saja,
yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka larangan dalam hadits
tersebut hanya berlaku pada 6 komoditi ini saja tanpa bisa
diqiyaskan/dianalogkan pada komoditi lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini
kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap
pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi , seperti emas ditukar
dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan
yang harus dipenuhi, yaitu:
(1) takaran atau
timbangan keduanya harus sama; dan
(2) keduanya
harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan ketentuan di atas maka kita tidak boleh menukar kalung emas
seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang
tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak
boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus,
karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak
setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus
dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan
barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya
haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian
ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini
sebutan riba yad.
Ketiga, Pertukaran
tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya
boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya,
kita boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak
sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20
kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua
boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat
transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi
itu tidak boleh dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan
penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah tapi
ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba
yad.
Keempat, Jika barang
ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak
ditukar dengan ke kayu, maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus
setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang
ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang
ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain meski
dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh
menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10
buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai
bukan barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan.
Sedangkan Nasi’ah secara bahasa maknanya penundaan.
Nah, untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba
fadhl dan riba nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita
memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk
mengenal nama-namanya. Hanya saja karena istilah riba fadhl dan nasi’ah ini
sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan
untuk memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Riba fadhl adalah
tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang
ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram.
Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena
penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya
tergolong riba nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam
konteks utang, riba nasi’ah berupa tambahan sebagai kompensasi
atas tambahan tempo yang diberikan.
Contohnya utang dengan tempo 1 tahun tidak berhasil dilunasi sehingga
dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini
merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana
tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan
utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski
sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau
dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak
berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang
ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis
maupun berbeda jenis.
Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli
perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena
emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang
ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi
secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama
menyebut penyerahan tertunda pertukaran sesama barang ribawi ini dengan riba
yad.
Penutup
Sukses bisnis tanpa riba di
zaman sekarang ini tidak mudah. Namun setiap muslim yang memiliki orientasi
hidup bukan hanya didunia tapi juga memiliki orientasi akhirat tentu akan
sangat berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perkara riba. Bahkan lebih
jauh lagi akan sangat menjaga harta yang dia dapatkan dan belanjakan hanya dari
dan untuk yang halal dan baik.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Sungguh
akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak
memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari
jalan haram.”
(Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Qaulil-Lah Azza wa
Jalla: “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu ta’kuluu ar-ribaa” 4: 313, dan Sunan
Nasa’i 7: 234, Kitab Al-Buyu’, Bab Ijtinaabi Asy-Syubuhaat fi Al-Kasbi).
Selain itu hendaknya setiap muslim ingat pesan
dari Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Abbas ra., dia berkata
Rasulullah SAW menasehati seorang lelaki:
“Manfaatkanlah
lima perkara sebelum datangnya lima perkara:
(1)
masa
mudamu sebelum masa pikunmu
(2) masa sehatmu sebelum masa sakitmu
(3) masa kayamu sebelum masa miskinmu
(4) masa luangmu sebelum masa sibukmu
(5)
masa
hidupmu sebelum kematianmu [HR. Al
Hakim]
Langganan:
Postingan (Atom)