Diriku Apa Adanya

Foto saya
Indonesia
Only new-born human to develop potencies optimum 100% and to give multi-purposes internationally

Sabtu, Desember 27, 2014

SUKSES BISNIS TANPA RIBA

SUKSES BI SNIS TANPA RIBA 

Mukaddimah
Sukses merupakan hak setiap kita. Dan sukses bisnis merupakan harapan besar agar memberi kebaikan dan manfaat pada umat manusia, agama, negara, masyarakat, lingkungan, keluarga dan diri sendiri. Namun, Sukses Bisnis Tanpa Riba merupakan pilihan imani dengan menharap ridho Ilahi. Bukan hanya sukses untuk hidup didunia saja bahkan sukses untuk kehidupan akhirat dan terbebas dari siksa api Neraka. Walau untuk merealisasikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi menjelang akhir zaman, hampir disetiap lini kehidupan tidak ada yang bisa terlepas dari cengkeraman riba. Mulai dari seorang manusia hingga sebuah negara tidak bisa bebas dari riba. Minimal terkena debu riba. Sebagaimana telah disampaikan Rasulullah Muhammad SAW sejak empat belas abad yang lalu.

Dari Abu Hurairah, ra. Rasulullah bersabda:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba) nya,”
      (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331).

Nah, pembahasan “Sukses Bisnis Tanpa Riba” merupakan salah satu bentuk niat, usaha dan keinginan serius setiap kita sebagai seorang Muslim yang berusaha agar terhindar dari riba. Tentu dengan menggali khasanah ilmu tentang riba, bertukar pikiran dan berbagi pengalaman dengan harapan dapat menghindarkan diri dari riba. Termasuk juga agar terbebas dari debu riba.

Memahami Makna Sukses
Setiap manusia ingin sukses. Baik sukses jangka pendek maupun sukses jangka panjang. Sukses jangka pendek berdasarkan Al Qur’an dalah sukses kehidupan didunia ini. Sedangkan sukses jangka panjang adalah sukses untuk kehidupan akhirat. Setiap hari kita bermohon kepada Allah SWT agar kita sukses hidup didunia dan diakhirat kelak. Sebagaimana do’a yang sering kita baca yang terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah 2:201
Dan diantara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”
  1. Sukses Jangka Panjang (Long Term Success)
Makna sukses Akhirat sebagaimana Firman Allah SWT:
...“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan”... (QS. Ali Imran 3:185)
Sukses akhirat sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an dan Hadits dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian:
1.       Bertemu dengan Allah SWT
2.       Mendapat ampunan dari segala kesalahan
3.       Terbebas dari api neraka
4.       Tinggal di Surga dengan segala kenikmatannya

Tentunya 4 bagian diatas dapat diperoleh hanya dengan keridhoan Allah SWT. Namun,  sarana terbesar untuk memahami sukses jangka panjang adalah dengan mempraktikkan 6 rukun Iman (Iman pada Allah, Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Kiamat dan Qadar-Nya). Hal ini untuk membiasakan diri kita agar selalu berpikir dari tujuan akhir aktivitas kita. Dan niat adalah apa yang akan dituju.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya.”
Dalam firman-Nya Allah SWT menyampaikan:
“Sesungguhnya, yang akhir itu lebih baik dan lebih abadi, dan yang akhir itu lebih baik dari yang awal” (QS. Al’Alaa, 87:17)

  1. Sukses Jangka Pendek (Short Term Success)
Makna sukses Dunia sebagaimana Firman Allah SWT:
“Dan adalagi yang lain yang kamu sukai, yaitu pertolongan Allah SWT dan kemenangan yang dekat.” (QS. Ash-Shaff, 61:13).

Kesuksesan apapun untuk kehidupan dunia, maka mintalah pada Allah SWT.
..“Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku”.. (QS. Al Baqarah 2:186)

Dari berbagai literatur, maka kesuksesan manusia di dunia dikelompokkan menjadi 14 bagian (BS.Wibowo dkk, 2003):
1.       Peningkatan pekerjaan dan karier (Amal)
2.       Kesehatan (Qawiyul Jism) dan kenikmatan hidup.
3.       Peningkatan keuangan dan rasa aman (Qadirun ‘Ala Kasb)
4.       Keteguhan hati dan kepercayaan diri (Matinul Khuluq)
5.       Kepribadian dan pergaulan dengan orang lain (Ukhuwah)
6.       Kebahagiaan dan kedamaian akal budi
7.       Pengembangan diri dan pendidikan diri (Mutsaqaful fikr)
8.       Sasaran dan arah hidup serta keteraturan program diri (Munazham fi syu’nihi)
9.       Disiplin diri dan penguasaan diri (Mujahidun linafsi)
10.   Cinta dan kehidupan keluarga
11.   Kaidah emas dan tanggung jawab (Haritsun ‘Ala Waqtihi)
12.   Kawan dan persahabatan
13.  Matang secara Altrustik (bermanfaat bagi orang lain-nafiun liqhairi) dan menjadi tua secara mulus.
14.   Kemampuan mengaitkan hidup dengan kematian (ketenangan batin & kebenaran jiwa)

  1. Sukses Dunia-Akhirat
Siapa yang ingin sukses di Akhirat maka dia harus menyiapkan diri selama di dunia. Juga bila  ingin sukses di alam kubur dan Padang Mahsyar maka harus beramal dengan baik di dunia.
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ada 7 golongan yang dilindungi oleh Allah SWT di bawah lindungan-Nya, waktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya:
1.       Pemimpin yang adil
2.       Pemuda yang dalam masa mudanya taat berbadah kepada Allah SWT
3.       Orang yang menyebut Allah ketika sendirian lalu meneteskan airmata.
4.       Laki-laki yang hatinya terikat dan tergantung dengan masjid
5.       Orang yang berkasih sayang karena Allah semata
6.       Laki-laki yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan tinggi dan cantik untuk berzina, tetapi ia menolak dengan mengatakan “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”
7.       Orang yang bersedekah dan disembunyikan, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.

Tujuh kelompok diatas kita jadikan model dalam manajemen sukses pribadi. Nah, untuk sukses dikehidupan kita di Padang Mahsyar maka kita perlu memiliki hal-hal berikut:
1.       Keterampilan Kepemimpinan (Leadership Skill)
Merupakan keterampilan dalam memimpin. Kita harus mampu mengelola rumah tangga, pekerjaan kita masing-masing dan pemimpin bagi orang-orang yang kita pimpin. Tentu kita harus menjadi pemimpin yang adil.

2.       Pemuda Shalih: Generasi dan Regenerasi
Pemuda yang masa mudanya beribadah kepada Allah adalah ciri pemuda shalih. Kita berusaha menjadi orang shalih sekaligus juga memiliki kemampuan mencetak anak cucu kita menjadi para pemuda yang shalih. Dengan arti kata kita harus memiliki kemampuan untuk regenerasi.

3.       Kekuatan Spiritual
Kekuatan spriritual dapat diperoleh dengan kita memulai mengenali diri kita beserta dosa-dosa kita, mengakui kelemahan dan kesalahan yang telah kita lakukan.  Bersegera mohon ampun kepada Allah serta berusaha untuk melakukan aktivitas dan kegiatan yang mengandung banyak manfaat dan kebaikan. Tentu ini juga merupakan persiapan agar ketika ajal menjemput, kita telah siap karena tiapa hari tanpa melakukan amal shalih dan kebaikan serta kebermanfaatan yang kita lakukan. Sedangkan puncak tertinggi kekuatan spiritual adalah Ihsan.
Ihsan yaitu engkau menyembah (percaya dan mengabdikan diri) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sungguh Dia melihatmu (HR. Muslim No.2)

4.       Membangun Institusi Dakwah: Profesional
Masjid merupakan pusat perubahan. Sehingga agar berfungsi dengan baik maka harus dikelola oleh orang-orang yang profesional dan istiqomah pada lembaga tersebut. Begitu juga institusi dakwah lainnya memerlukan orang-orang yang profesional dan istiqomah dalam mengelola.


5.       Teamwork: Ta’liful Qulub
Masa depan kehidupan manusia semakin sulit sehingga banyak pekerjaan yang harus dikerjakan dengan kekuatan kerja tim. Orang yang berkasih sayang merupakan ciri orang yang mampu melakukan amal jama’i atau bekerja dengan teamwork.

6.       Kredibilitas Moral
Tantangan sukses untuk membangun kredibilitas moral adalah godaan dunia yaitu tahta, harta dan wanita. Pernyataan yang lebih mendalam tentang godaan dunia sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 14:
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta pada apa yang diinginkan berupa:
(1)Perempuan-perempuan, (2)Anak-anak, (3)Harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, (4)Kuda pilihan (kendaraan), (5)Hewan ternak (unta, sapi, kambing, biri-biri, (6) Sawah ladang (kebun)
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

7.       Kekuatan Ekonomi
Orang yang bersedekah jika mereka memiliki harta dan ikhlas dalam beramal. Dari 4 Khalifah Sahabat Rasulullah yang dijamin masuk Syurga, ternyata 3 orang memiliki harta yang cukup (Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan) kecuali Ali Bin Abi Thalib. Dan 10 orang Sahabat Rasulullah yang dijamin masuk Surga memiliki harta yang cukup, kecuali Ali bin Abi Thalib dan Bilal bin Rabbah.
Bila ingin sukses di Akhirat maka di dunia jadilah kita orang yang selalu bersedekah untuk orang lain. Adapun orang yang bersedekah dengan menyembunyikan sedekahnya maka ia sudah masuk level muttaqin (memenuhi seluruh tuntutan Allah SWT).

Memahami Makna Bisnis
Menurut kamus Collins Cobuild Dictionary, bisnis adalah aktivitas yang berhubungan dengan produksi, pembelian dan penjualan suatu produk atau jasa.
Konsep produksi dan kerja dalam Islam menghindarkan kemubaziran dengan prinsip-prinsip berikut:
1.       Memproduksi dengan meraih profit tinggi
2.       Memproduksi dengan kegunaan yang bermutu tinggi
3.       Memproduksi dengan nol masalah
4.       Memproduksi dengan biaya rendah
5.       Memproduksi dengan tingkat penundaaan rendah

Pembelian dan penjualan produk atau jasa maka hendaknya seorang muslim memperhatikan:
  1. Kehalalan produk atau jasa sudah teruji (idealnya telah memiliki Sertifikasi Halal Resmi & terdaftar pada Majelis Ulama)
  2. Diproduksi dan dimiliki kaum Muslimin
Agar setiap keuntungan yang didapat juga berputar untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Misalnya berupa zakat, infak sedekah, wakaf dan hadiah. Termasuk juga membantu kegiatan-kegiatan sosial.
  1. Fardhu ‘Ain (wajib), bila produk atau jasa sangat diperlukan kaum muslimin dimana disuatu wilayah kaum Muslimin belum ada dihasilkan. Misalnya makanan halal dari binatang ternak.
  2. Fardhu Kifayah, bila produk atau jasa sangat dibutuhkan kaum Muslimin tapi tidak ada yang mengolahnya maka kaum muslimin didaerah itu semuanya berdosa. Misalnya jilbab syar’i.
  3. Sosial, bila produk atau jasa diperlukan kaum Muslimin tanpa mendapat keuntungan materi seperti Lembaga Amil Zakat, Sekolah Islam, Sekolah Tahfiz dan sebagainya.

Allah SWT menyampaikan versi bisnis dalam Al Qur’an Surat As-Saff 61: 10-12 yaitu:

“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?”
“ (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik jika kamu mengetahui.”
“Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam Surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.”

Pengertian Riba
Secara bahasa riba bermakna :  Ziyadah / tambahan atau kelebihan. Secara linguistik, riba berarti tumbuh dam membesar. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Riba adalah  kebiasaan  yang  telah  membudaya  di  kalangan masyarakat  Arab  jauh  sebelum  larangan  riba berlaku.  Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju  kepada  keadaan  masyarakat  saat  itu  yang  memang  telah terbiasa  melakukan  transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.

Larangan Riba Dalam Al-Qur’an

Keharamannya riba telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, Al Hadits serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.

Dalam Al-Quran kata riba terulang sebanyak 8 kali. Terdapat dalam 4 surat, yaitu Al-Baqarah (4 ayat), Ali 'Imran (1 ayat), An-Nisa' (2 ayat), dan Ar-Rum (1 ayat). 3 surat pertama "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang Ar-Rum "Makiyyah" (turun di Mekah sebelum beliau hijrah).

Tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Ar-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa’: 160-161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali ‘Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 275-276).

Larangan riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus tetapi diturunkan dalam 4 tahap, yaitu:

  1. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang nampak seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan untuk mendekatkan diri pada  Allah SWT. Itu di dalam surat Ar-Rum ayat 39.

 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

Ayat ini Makkiyah yang  menjelaskan bahwa  Allah membenci riba  dan  perbuatan  riba tidak  mendapat pahala di  sisi Allah SWT. Ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan riba.

  1. Tahap kedua, digambarkan riba sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Itu di dalam surat An-Nisa’ ayat 160-161.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160)
 وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا 161

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Ayat ini Madaniyah yang merupakan  kisah  tentang  orang-orang  Yahudi.  Allah  SWT mengharamkan   kepada   mereka   riba   akan   tetapi   mereka   tetap mengerjakan  perbuatan  ini.  Pengharaman  riba  pada  ayat  ini  adalah pengharaman  secara  tersirat  tidak  dalam  bentuk  tegas,  akan tetapi  berupa  kisah  pelajaran  dari  orang-orang  Yahudi  yang  telah diperintahkan untuk meninggalkan riba tetapi mereka tetap melakukannya. Bahkan sebagian  nabi-nabi  mereka  telah  melarang  melakukan perbuatan riba.

  1. Tahap ketiga, riba di haramkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”

Ayat ini Madaniyah yang menjelaskan  kebiasaan  orang  Arab  saat  itu  yang  sering mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda.  Ayat  ini  telah  jelas mengharamkan perbuatan riba. Tetapi pengharamannya masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang  mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda

  1. Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Dalam surat Al Baqarah ayat 275-276.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
 أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
 يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti  maka  baginya  adalah  apa  yang telah berlalu  dan urusannya  adalah  kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka  mereka  adalah penghuni  neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.
(QS. Al-Baqarah : 275- 276)

Ayat ini Madaniyah dimana dalam Ayat ini Allah menegaskan untuk mengharamkan riba.

Sebagai penegasan untuk meninggalkan riba, juga ada 2 ayat lain dalam Surat Al-Baqarah ayat 278-279 yang menjelaskannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
 فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)


Hadits-Hadits Terkait Riba

Berikut ini beberapa hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang riba, yaitu:
  1. Dalam amanatnya tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW menekankan pelarangan riba:
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
  1. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
(1)    Menyekutukan Allah,
(2)    sihir,
(3)    membunuh jiwa dengan cara yang haram,
(4)    memakan riba,
(5)    memakan harta anak yatim,
(6)    kabur dari medan perang,
(7)    menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “

3.        “Menjelang datangnya hari kiamat akan merajalela riba,”

(HR: Thabrani dalam At-Targhib Wat-tarhib karya Al-Mundziri 3:9, dan beliau berkata, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu).

  1.  “Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri,”

(HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud)
  1. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”

(HR.Bukhari  dalam Fathul Bari/V:4/H:394/bab:24)

  1. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah SAW bersabda:

“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah.
Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri.
Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya.
Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai (dalam kedaan) berdarah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula.
Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab:
“Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.”

(HR. Bukhari dalam Fathul Bari/V:4/H:393/2085).

Pembagian Riba

Riba dapat terjadi dalam 2 hal yaitu dalam utang (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’).

Riba Dalam Utang (Riba Duyun)
Yaitu adanya manfaat tambahan terhadap utang atau pinjaman. Riba ini bisa terjadi dalam transaksi utang-piutang atau pun dalam transaksi tidak tunai semisal transaksi jual-beli kredit. Perbedaan antara utang yang muncul karena utang piutang dengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.

Contoh riba dalam utang-piutang,
misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp.20 juta kepada si B dengan tempo 1 tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua ini khusus disebut riba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya  transaksi utang-piutang.
Riba utang yang muncul dalam selain utang-piutang atau pinjaman contohnya apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam 3 tahun. Jika dalam 3 tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.

Dalam hal pinjaman, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang. Jika si A meminjam 2 liter bensin kepada si B, kemudian disyaratkan adanya penambahan 1 liter dalam pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba. Demikian pula jika si A meminjam 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan,
“kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam pinjam meminjam adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.

Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba.
Sebagai contoh bila si B bersedia memberi pinjaman uang pada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya pada si B selama 1 bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.

Riba Dalam Jual-beli (Riba Buyu’)
Dalam jual-beli terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah. Keduanya mudah diketahui  lewat contoh-contoh yang nanti akan kita bahas.
Berbeda dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi 6 barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah saw bersabda: “Jika
(1)    emas ditukar dengan emas,
(2)    perak ditukar dengan perak,
(3)    bur (gandum) ditukar dengan bur,
(4)    sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir,
(5)    kurma ditukar dengan kurma, dan
(6)    garam ditukar dengan garam,
maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai).
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Dalam riwayat lain dikatakan:
Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma,  garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).

(HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan 6 komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada 6 komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan pada komoditi lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.


Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi , seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:
(1)    takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan
(2)    keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.

Berdasarkan ketentuan di atas maka kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini   sebutan riba yad.

Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.

Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar dengan ke kayu,  maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.

Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.

Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan. Sedangkan Nasi’ah secara bahasa maknanya penundaan.

Nah, untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya.  Hanya saja karena istilah riba fadhl dan nasi’ah ini sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.

Riba fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram. Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan.

Contohnya utang dengan tempo 1 tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).

Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis.
Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda pertukaran sesama barang ribawi ini dengan riba yad.



Penutup
Sukses bisnis tanpa riba di zaman sekarang ini tidak mudah. Namun setiap muslim yang memiliki orientasi hidup bukan hanya didunia tapi juga memiliki orientasi akhirat tentu akan sangat berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perkara riba. Bahkan lebih jauh lagi akan sangat menjaga harta yang dia dapatkan dan belanjakan hanya dari dan untuk yang halal dan baik.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram.”

(Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Qaulil-Lah Azza wa Jalla: “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu ta’kuluu ar-ribaa” 4: 313, dan Sunan Nasa’i 7: 234, Kitab Al-Buyu’, Bab Ijtinaabi Asy-Syubuhaat fi Al-Kasbi).

Selain itu hendaknya setiap muslim ingat pesan dari Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Abbas ra., dia berkata Rasulullah SAW menasehati seorang lelaki:
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara:
(1)    masa mudamu sebelum masa pikunmu
(2)    masa sehatmu sebelum masa sakitmu
(3)    masa kayamu sebelum masa miskinmu
(4)    masa luangmu sebelum masa sibukmu

(5)    masa hidupmu sebelum kematianmu        [HR. Al Hakim]

Tidak ada komentar: