Diriku Apa Adanya

Foto saya
Indonesia
Only new-born human to develop potencies optimum 100% and to give multi-purposes internationally

Sabtu, Agustus 02, 2008

Dibalik Privatisasi Aset Negara

Oleh : Ade Chandra
Mahasiswa Master of Management di International Islamic University Malaysia (IIUM)
batch 14 diposting tgl 2 Agustus 2008

Sejak kecil kita dikenalkan bahwa Indonesia itu kaya. Letaknya strategis digaris khatulistiwa. Diapit benua Asia dan Australia. Dikelilingi Samudera Pasifik dan Hindia. Budayanya beraneka ragam. Tak ketinggalan, rakyatnya juga melebihi 220 juta. Sungguh anugerah yang luar biasa dari sang Maha Kuasa.

Tetapi, hingga saat ini rakyatnya kian hari makin sengsara dibanding negara lain dibenua yang sama dengan Indonesia. Tahun 1967, negara-negara utama di Asia hampir memiliki kesamaan dalam bidang sosial dan ekonomi. Rizal Ramli (2008) menyebutkan pada saat itu Gross National Product (GNP) perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan dan China nyaris sama yaitu kurang dari $100 per kapita. Setelah lebih 40 tahun, GNP negara-negara tersebut tahun 2004 mencapai: Indonesia US$1.100, Malaysia US$4.520, Thailand US$2.490, Taiwan US$14.590 dan China US$1.500.

Selama ini, kemajuan ekonomi Indonesia banyak didukung oleh eksploitasi sumberdaya alam seperti minyak bumi, batubara, emas, gas dan hasil hutan serta peningkatan pinjaman luar negeri. Sedangkan kemajuan negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara didukung oleh ekspor, industrialisasi, peningkatan produktifitas dan daya saing nasional.

Ketergantungan tinggi pada hutang luar negeri diikuti kelemahan struktural ekonomi menciptakan pengambil kebijakan ekonomi Indonesia tidak percaya diri dan secara mental serta intelektual sangat tergantung pada lembaga pemberi hutang. Krisis ekonomi tahun 1997, semakin memperkuat elit kebijakan ekonomi patuh pada International Monetary Fund (IMF).

Pada bulan Maret 1998, menjelang kejatuhan rezim orde baru, menurut catatan Bank Indonesia (BI) utang luar negeri Indonesia US$137,424 miliar. Jauh diambang batas US$100 miliar. Rinciannya, utang pemerintah sebesar US$63,732 dan utang swasta alias konglomerat sebesar US$73,692 miliar, dan US$10,5 miliar merupakan utang bank komersial jangka pendek berbunga tinggi.

Selain itu demi menyelamatkan perbankan nasional akibat hantaman krisis ekonomi dan rush dari nasabah, BI mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hampir Rp144 triliun tanpa reserve. Atas desakan IMF pula, pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitulasi perbankan sebesar Rp430 triliun yang bila ditambah bunganya bisa mencapai Rp600 triliun.

Namun setelah sehat dan bebas kredit macet, atas desakan IMF lagi, bank-bank rekap itu dijual bersama obligasinya. Lalu dengan alasan memelihara kepercayaan internasional bank-bank tersebut jatuh ketangan asing atau konsorsium. Tanpa sadar, pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi hutang publik sebesar Rp600 triliun dengan bunga sebesar 12,5%.

Contoh bank rekap yang melekat obligasi pemerintah sebesar Rp58 triliun didalamnya adalah BCA. Dijual obral 51% sahamnya seharga Rp 5,3 triliun, oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga jatuh ketangan konsorsium Farallon (AS) dan Djarum. Setiap tahun, menurut Kwik Kian Gie, pemerintah mengeluarkan dana untuk BCA sebesar Rp 7 triliun atau Rp500 miliar/bulan sebagai pembayaran bunga obligasi. Padahal BCA ibarat ayam petelur emas yang menghasilkan keuntungan lebih Rp 2 triliun/tahun. Tahun 2004 membukukan keuntungan 3,2 triliun dan tahun 2005 Rp 3,6 triliun.

Sampai akhir April 2002, obligasi yang masih melekat di BCA sebesar Rp 59,631 triliun. Ditahun yang sama, bunga obligasi yang dibayar pemerintah untuk rekap BCA sebesar Rp 6 triliun. Ishak Rafick (2008) menambahkan bahwa menurut manajemen baru BCA, obligasi yang jatuh tempo berturut-turut pada tahun 2003 sebesar Rp 3,441 triliun, 2004 Rp 7,948 triliun, 2005 Rp 6,075 triliun, 2006 Rp7,266 triliun, 2007 Rp8,777 triliun dan puncaknya tahun 2008 Rp17,060 triliun. Tahun 2009 menurun menjadi Rp8,487 triliun. Beban berat seperti ini terus ditanggung rakyat akibat ulah pemerintah masa lalu. Belum lagi beban akibat bencana alam, kenaikan harga minyak, ditambah cicilan utang luar dan dalam negeri.

Tahun 2004, Kabinet Gotong Royong Mega-Hamzah telah membayar utang dalam dan luar negeri sebesar Rp139,4 triliun. Tahun 2005, Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK telah membayar Rp126,315 triliun berupa cicilan utang pokok Rp61,614 triliun dan bunga Rp64,691 triliun. Untuk tahun 2006, pemerintah mengalokasikan pembayaran utang sebesar Rp140,22 triliun dengan cicilan utang pokok Rp63,59 triliun dan beban bunga Rp76,63 triliun.

Nah, cara paling mudah untuk menutupi kekurangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan beban yang demikian berat adalah dengan privatisasi perusahaan negara atau lebih dikenal Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal menurut Jeremy Pope (2003), The Privatization is mother of corruption atau privatisasi adalah induknya korupsi.

Tim Konsultasi Privatisasi BUMN telah dibentuk sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid berdasarkan Surat Keputusan Presiden No.24/2001. Kemudian untuk memuluskan keinginan pemerintah menjual perusahaan milik negara, maka dikeluarkan Undang-undang (UU) No.19/2003 tentang BUMN. Dalam UU tersebut, pihak asing dibolehkan menguasai saham perusahaan dalam negeri hingga 95 persen.

Selain itu, menurut Zulhelmy (2008) dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008 disebutkan bagaimana lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama World Bank, aktif terhadap permasalahan privatisasi di Indonesia. Sementara ADB dalam News Release yang berjudul Project Information: State Owned Enterprise Governance and Privatization Program tanggal 4 Desember 2001, memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi BUMN di Indonesia.

Tahun 2007, pemerintah menargetkan setoran dari privatisasi BUMN sebesar Rp3,3 triliun. Walau akhirnya tercapai Rp3,09 triliun.
Ditahun 2008, pemerintah melalui Menteri Negara BUMN telah menyiapkan lebih dari 30 perusahaan negara yang akan diprivatisasi. Diantaranya, PT Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PTB Inti, Rukindo, Bahtera Adi Guna, PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Perkebunan Nusantara VII, Sarana Karya. Begitu juga Semen Batu Raya, Waskita Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero, Adhi Karya, Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri. Ditambah PT Dirgantara Industri, Boma Vista, PTB Barata, PTB Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, Yodya Karya, Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT Kraft Aceh, dan Industri Kapal Indonesia.

Privatisasi memunculkan akibat yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Baik secara jangka pendek maupun secara jangka panjang. Zulhelmy (2008) menyampaikan beberapa akibat privatisasi, yaitu:

Pertama, tersentralisasinya aset negara pada segelintir orang atau perusahaan bermodal besar, canggih dalam manajemen, teknologi dan strategi. Pada akhirnya aset tersebut hanya beredar diantara orang-orang kaya saja. Sehingga akan menghambat pendistribusian kekayaan.

Kedua, privatisasi di negeri seperti Indonesia dengan masuknya para investor asing baik perorangan maupun perusahaan perlahan menjerumuskan negeri tersebut dalam cengkraman imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itu nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri ini. Sehingga terjadi perampokan kekayaan negeri ini sekaligus pengokohan dominasi politik atas penguasa dan rakyat.

Ketiga, pengalihan kepemilikan khususnya disektor industri dan pertanian dari kepemilikan negara/umum menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakibatkan Pemutusan hubungan Kerja (PHK), atau pengurangan gaji pegawai. Padahal pengangguran dan kemiskinan sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat, produksi, dan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, menghapuskan kepemilikan umum atau kepemilikan negara artinya negara melepaskan diri dari kewajibannya terhadap rakyat. Negara tidak akan sanggup melaksanakan banyak tanggungjawab yang seharusnya dipikul, karena telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Negara juga tidak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan secara layak.
Kelima, negara akan disibukkan mencari sumber pendapatan baru untuk mengantikan sumber pendapatan yang telah dijualnya. Negara tentu tidak mudah mendapatkan sumber lain, selain menerapkan pajak yang tinggi atas perusahaan, sektor perdagangan/ekonomi, dan juga kepada rakyatnya.

Keenam, dana yang diperoleh negara dari penjualan kepemilikan umum atau negara, umumnya tidak dikelola dalam sektor-sektor produktif.

Ketujuh, menghalangi masyarakat umum untuk memperoleh hak mereka, yaitu memanfaatkan aset kepemilikan umum seperti air, minyak, sarana transportasi, dan pelabuhan-pelabuhan.

Maka dari itu, privatisasi akan mempengaruhi pelayanan, pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kemandirian negara. Karena dibalik program privatisasi terjadi neoliberalisme. Ideologi kapitalisme berwajah baru. Saatnya bukan lagi privatisasi tetapi menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada, demi mewujudkan rakyat Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan.

Tidak ada komentar: