Diriku Apa Adanya

Foto saya
Indonesia
Only new-born human to develop potencies optimum 100% and to give multi-purposes internationally

Jumat, Maret 28, 2008

GUBERNUR BANK INDONESIA: ANTARA RESIKO DAN HARAPAN

Oleh: Ade Chandra

Klik di http://muhajirin-society.blogspot.com

Penentuan Gubernur Bank Indonesia (BI) masih menjadi perdebatan panjang dikalangan petinggi dan wakil rakyat di pusat pemerintahan di Jakarta. Seolah pimpinan BI menjadi tumpuan utama penyelesaian segudang masalah perbankan di Indonesia.

Padahal ada begitu banyak resiko yang meliputi sebuah bank. Entah itu BI, bank konvensional ataupun bank syariah. Menurut The World Bank (2000), secara umum resiko-resiko sebuah bank dibagi atas empat kategori, yaitu: 1)financial risks, 2)operational risks, 3)business risks dan 4)Event risks.

Harus disadari bahwa resiko-resiko keuangan bank atau financial risks dibagi menjadi dua hal yaitu resiko-resiko murni (pure risks) yang meliputi struktur laporan keuangan, stuktur laporan rugi-laba, kecukupan modal, resiko likuiditas, resiko kredit dan kemampuan membayar hutang (solvency risks) dan resiko-resiko spekulatif (speculative risks) yang dalam hal ini meliputi resiko tingkat suku bunga, resiko pasar, dan resiko perubahan nilai mata uang.

Selain itu, ada juga resiko-resiko operasional (operational risks) yang sifatnya internal dalam sebuah bank. Hal ini meliputi: resiko strategi bisnis, resiko sistem internal dan operasional, resiko teknologi, mismanagement dan kecurangan.

Belum lagi resiko-resiko bisnis (business risks) bank seperti resiko legal, resiko kebijakan, infrastruktur keuangan dan resiko sistem. Dan terakhir event risks yang menentukan masa depan bank seperti resiko politik, resiko krisis perbankan maupun resiko dari faktor-faktor lain dari luar bank.

Selanjutnya, BI sebagai pembuat kebijakan dan pengawas seluruh bank yang ada di Indonesia akan berkaitan dengan seluruh resiko-resiko yang disebutkan diatas. Maka dari itu, umumnya bank sentral memiliki tanggung jawab untuk: 1)membuat dan mengeluarkan izin perbankan, 2)penetapan peraturan dan standar perbankan, 3)memeriksa laporan perbankan secara berkala sesuai kondisi baik secara off-site surveillance maupun on-site examination, 4)mengevaluasi dan pemberian hukuman bila perlu serta, 5)menutup kelangsungan hidup sebuah bank.

Beban tanggung jawab bank sentral yang demikian besar, tidak akan menjamin kesuksesan dunia perbankan. Karena potensi kegagalan sudah merupakan resiko penting menyeluruh dalam dunia perbankan. Apalagi dalam bisnis ada istilah semakin beresiko sesuatu, maka semakin besar potensi keuntungannya. Apalagi tugas pengawasan bank sentral memiliki aturan main dan waktu tertentu sehingga akan sangat berbeda tentunya dengan aturan pengawasan bank setiap yang dilakukan setiap hari dalam mengatasi masalah atau mencegah krisis dalam suatu sistem bank.

Adapun efektifitas sistem pengawasan bank sentral pada intinya terdiri atas dua hal sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu off-site surveillance dan on-site examination. Pada off-site surveillance, bank sentral melakukan pendeteksian penyimpangan bank yang dilakukan secara umum sedangkan on-site examination, bank sentral mendiagnosa penyimpangan suatu bank lebih khusus sehingga lebih akurat dan meliputi keseluruhan sistem operasi sebuah bank serta bisa diupayakan tindakan pencegahan masalah sedini mungkin.

Makanya jangan heran, bank sentral mesti menetapkan panduan pengawasan yang ketat, jelas, sistematis, terukur dan konsisten. Tentu hal ini akan dijalankan oleh jajaran human resource bank sentral yang notabene mesti memiliki kejujuran, integritas, kredibilitas, dan profesionalitas yang mumpuni. Keseluruhan nya mesti memiliki komitmen yang tinggi. Karena peluang godaan hawa nafsu dari dalam diri maupun tantangan dari luar sangat besar.

Relevansinya mengingatkan kita tentang konsep progression of commitment value dengan empat tingkatan komitmen secara berurutan. Mulai dari political commitment, intellectual commitment, emotional commitment dan spiritual commitment.

Political commitment merupakan tingkatan terendah dimana komitmen dilakukan secara terpaksa. Contohnya melakukan pekerjaan karena ada pimpinan. Sedangkan tingkatan selanjutnya intellectual commitment dimana suatu komitmen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya. Seperti menyempatkan diri untuk membaca dimana pun berada. Emotional commitment bersifat sukarela dan tidak lagi memikirkan untung rugi. Sedangkan tingkatan tertinggi spiritual commitment dimana komitmen kerja dilakukan karena sudah merupakan panggilan jiwa dan tidak terikat lagi dengan masalah duniawi.

Namun demikian, tantangan sekaligus resiko terbesar bank sentral diseluruh dunia termasuk BI selama ini adalah karena perekonomian didominasi oleh tiga pilar utama, yaitu: pertama, fiat money, kedua, Fractional Reserve Requirement (FRR) dan ketiga, interest (bunga) bank.
Secara ringkas, fiat money merupakan uang yang diciptakan tanpa didukung sedikitpun oleh logam mulia seperti emas. Sehingga rentan terhadap speculative risks. Fiat money bukan lagi dijadikan sekedar alat tukar, tetapi sudah menjadi komoditi yang bisa diperdagangkan. Kadang kala para spekulan melakukan spekulasi fiat money besar-besaran dipasar uang. Sehingga bisa dipastikan krisis ekonomi akan berlangsung secara periodik.

Selanjutnya adalah FRR yang merupakan cadangan sebagian yang dipersyaratkan BI untuk memenuhi kondisi normal permintaan uang dari deposan yang menarik tabungan/depositonya. Contoh sederhananya, jika BI mensyaratkan FRR 10 persen untuk deposito sebuah bank yang jumlahnya sebesar Rp 100 juta, maka cadangan yang diperlukan bank tersebut adalah sebesar Rp.10 juta (Rp.100 juta x 10 persen). Maka uang yang bisa diciptakan bank tersebut adalah sebesar Rp. 90 juta (Rp.100 juta-Rp.10 juta) dalam bentuk pemberian kredit kepada debitur ataupun penyaluran dana dalam bentuk pinjaman. Jadi secara tidak langsung bank tersebut men-create money dengan cara semu. Bayangkan seandainya jumlah deposito sebesar Rp. 100 juta itu dimiliki 10 juta orang. Sehingga akan menciptakan uang semu sebesar Rp. 900 triliun. Sungguh fantastis untuk menghancurkan ekonomi suatu bangsa!

Selain itu, dominasi bank konvensional dengan sistem bunga memicu resiko ketidakstabilan ekonomi. Karena para deposan dijamin mendapatkan bunga walaupun bank konvensional kenyataannya merugi. Berapa beban bunga yang terus-menerus akan ditanggung oleh bank. Sedangkan deposan tidak mau rugi. Sungguh ketidakadilan yang memprihatinkan.

Solusi yang muncul kepermukaan untuk masalah fiat money dan FRR adalah menggantinya dengan memakai gold (emas). Namun, implementasinya juga tidak mudah. Sedangkan untuk bunga bank telah dipecahkan melalui bank syariah. Tetapi tetap mengalami kendala karena fiat money dan FRR masih juga dilaksanakan dalam bank syariah. Sehingga bank syariah ibarat boneka yang dikendalikan dari atas untuk berjalan. Sedangkan pengendalinya tetap berada ditempat.

Maka dari itu, gubernur BI kedepan diharapkan berani untuk mengambil resiko keputusan yang sulit dan tidak populer. Sebagai karakteristik seorang pemimpin yang inovatif dalam eksperimen untuk menemukan cara-cara baru dan lebih baik dalam melakukan suatu hal. Disinilah perlunya kombinasi intellectual competence, emotional competence dan spiritual competence. Sehingga nantinya dapat melakukan perubahan dan pengikutnya juga siap untuk berubah.

Nah, kedepan pemikiran-pemikiran inovatif dan kreatif untuk memberikan nuansa baru perbankan nasional menjadi harapan semua pihak. BI sebagai otoritas moneter tentu sangat signifikan perannya untuk menentukan masa depan lembaga keuangan dan perbankan. Semua ini kembali ujungnya ditentukan oleh pemimpin puncak BI yang baru.

Semoga gubernur BI yang baru dapat menjalankan amanah dengan cerdas serta selalu dilimpahkan kekuatan dari Yang Maha Kuasa untuk menjadikan Indonesia menjadi penggerak kebaikan menuju kesejahteraan hidup masyarakatnya yang berkah dan berkeadilan.

Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar: